Sabtu, 02 Juni 2012

KISAH SUKSES ANTARINA SULAIMAN – PENDIRI SEKOLAH INTERNASIONAL HIGH/SCOPE INDONESIA

Pernah dengar High/Scope Indonesia nggak? Itu tuh sekolah bergengsi yang bayarnya muahallll banget tapi banyak digandrungi orang tua.

High/Scope Indonesia adalah sekolah internasional di kawasan Cilandak Barat, Cilandak, Jakarta Selatan. Pendiri dari High/Scope Indonesia adalah Ibu Antarina Sulaiman.

Ternyata Ibu Antarina ini masih cucunya maestro pendidikan Indonesia yaitu bapak Ki Hajar Dewantoro. Ternyata bener ya peribahasa "Buah jatuh tak jauh dari pohon".

Kakeknya pahlawan pendidikan ehh cucunya mendirikan sekolah.

Ibu Rina (panggilan Ibu Antarina) tidak begitu saja mendirikan High/Scope Indonesia, awalnya beliau merasa sistem pendidikan Indonesia kurang pas dalam mencetak anak yang kreatif padahal kreatifitas sangat diperlukan untuk kesuksesan sang anak.

Ceritanya Ibu Rina ini adalah seorang dosen di Universitas Indonesia dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Keuangan dan Perbankan Indonesia (STEKPI). Saat mengambil gelar Master di Amerika, seorang profesor memberinya tugas untuk membuat rumus sendiri.

Sesuatu yang jarang dilakukan dan diasah di sistem pendidikan kita ( kalo di kita boro boro bikin rumus sendiri, masukin soal ke rumusnya aja sering salah). Beliau baru sadar bahwa sistem pendidikan kita hanya hafalan.

"Saya merasa bego banget, ya, kok tidak bisa mengerjakan tugas profesor itu," kenang Rina.

Itulah yang membuat beliau akhirnya memutuskan untuk mendirikan High/Scope di Indonesia.Konsep pendidikan High/Scope sudah dikenalnya selama di Amerika. Rina membeli lisensi High/Scope dari Singapura. Ia mengajak empat temannya untuk mengumpulkan modal Rp 500 juta.

HANYA DELAPAN MURID YANG MENDAFTAR

Ternyata tujuan mulia belum tentu mulus jalannnya. Saat awal mendirikan High/Scope di Pondok Indah hanya ada 8 murid yang berminat dan itupun masih level pra sekolah.

Tahu nggak Sobat siapa aja yang mendaftar, enam dari delapan siswanya adalah anak-anak sang pendiri sekolah tersebut sendiri dan hanya dua yang bener-bener murni orang luar.

Waktu itu Ibu Rina memberikan nomor urut lima untuk anak diluar enam anak pendiri sekolah tersebut. "Sya malu" kenangnya karena orang tua murid tersebut mengira sudah waiting list padahal anak itulah murid pertama High/Scope Indonesia "Kenangan menyobek kuitansi itu tak akan saya lupakan," imbuhnya.

Mungkin nama High/Scope sudah terkenal di mancanegara sehingga saat enam bulan berjalan High/Scope mendapat tambahan siswa sebanyak 100 orang. Dan di tahun ajaran baru selanjutnya Ibu Rina kualahan menangani bludakan peminat High/Scope dan waiting list betulan. Karena waktu itu tenaga pengajarnya hanya enam orang.

Saat itu High/Scope Indonesia masih dibawah lisensi Singapura dan beliau ingin langsung dibawah Amerika. "Saya tidak mau di bawah Singapura, tidak ada untungnya," kata Rina. Kebetulan, waktu itu ada pembaruan kontrak antara High/Scope Amerika dengan pemegang lisensinya di Singapura. Tahun 2000, Rina mendapatkan lisensi tersebut. "Saya puas sekali, bisa mengalahkan Singapura, "ujarnya. Setelah itu, Rina mulai menjual waralaba sekolahnya yang kini sudah ada delapan di seluruh Indonesia.

Awalnya High/Scope hanya membuka jenjang pendidikan pra sekolah dan TK namun empat tahun kemudia beliau membuka SD. Kendala muncul lagi, gedung Pondok Indah sudah tak menampung lagi, banyak wali murid protes. "Enggak mungkin kalau di Pondok Indah terus," kata Rina.

Maka mulailah Ibu Rina hunting lokasi. Dan dapatlah tempat, kebetulan saat itu ada teman beliau yang berniat menyewakan tanah 1,2 ha di selatan Jakarta kawasan TB Simatupang."Dreams come True" sambut istri dari Farid Amir ini. Ibu Rina akhirnya menguras tabungan satu-satunya sebesar 20M  karena belum kunjung mendapat pinjaman dana.

Tahun 2002, gedung milik Rina sudah jadi. Pas waktu itu kontrak gedung di Pondok Indah juga habis. Jadilah Rina memindahkan seluruh siswanya dari prasekolah sampai SD ke gedung baru tersebut.

Saat ini Rina memiliki 700 orang murid dan 120 tenaga pengajar. Dia juga mulai mempersiapkan gedung sekolah baru untuk SMA di belakang High/Scope Simatupang yang sekarang. Sebagai cucu seorang pejuang pendidikan, cita-cita Rina memang mulia, yaitu ingin memberikan pendidikan berkualitas bagi anak-anak Indonesia. Sayang, tidak sembarang anak bisa bersekolah di High/Scope ini. Maklum, hanyalah orang tua dengan kantong tebal saja yang mungkin bisa menyekolahkan anak-anaknya di sini. Untuk tingkat Toddler, misalnya, orang tua murid harus menyediakan uang sebesar Rp 12 juta untuk uang pangkal dan biaya per tiga bulan Rp 4,3 juta.

Lantas, bagaimana dengan anak-anak yang orang tuanya tidak mampu? Menurut Rina, ia memiliki program sekolah asuh. "Jadi kami mengasuh sekolah-sekolah negeri," ujar Rina yang masih mengajar di Universitas Indonesia. "Kita mendidik gurunya, supaya anak-anaknya bisa belajar seperti di sini," sambungnya.

BELAJAR ILMU PUBLIC RELATION

Kendati sudah lebih dulu bekerja sebagai dosen, ternyata tidak gampang bagi Antarina Sulaiman untuk berbisnis sekolah. Ia menganggap meyakinkan orang tua murid tentang metode pengajaran di High/Scope merupakan hal yang berat. Sebagian besar orang tua menuntut anaknya untuk menjadi juara. Padahal, Rina ingin mencetak anak yang kreatif dan produktif. "Harus diberi waktu, dong, anak kan bukan seperti mesin yang langsung bisa jadi," kata Rina. "Susah sekali memberikan pemahaman itu," sambungnya.

Gara-gara soal itu pula Rina pernah didemo orang tua murid. "Mereka minta penjelasan akan dibawa ke mana arah pendidikan anak-anaknya," kata Rina. Terpaksa Rina menggelar rapat dadakan dengan orang tua murid. Rina menjelaskan bagaimana pendidikan yang diselenggarakan di situ sampai tujuan pendidikannya, sampai para orang tua murid itu benar-benar paham. "Tak disangka, rapat itu berakhir hingga pukul 01.30 pagi," kenang Rina.

Setelah peristiwa itu, Rina menyempatkan diri untuk mengikuti kursus PR. "Saya harus tahu cara menangani hal seperti itu, karena kualitas benar-benar harus dijaga, "kata perempuan 43 tahun ini.

Begitulah kisah sukses dari Antarina Sulaiman, jatuh bangun dalam mendirikan sekolah yang berkualitas High/Scope Indonesia. Semoga kisah ini dapat menginspirasi sobat sekalian. Tujuan mulia belum tentu jalannya mulus, tetap aja ada tantangannya, justru hal itulah yang akan menempa kita semua agar bisa menjadi manusia tangguh.

Terima Kasih telah membaca dan mengunjungi blog saya :D

12 komentar:

  1. Mw memajukan pndidikan indonesia knp mahal bgt?? Biaya yg ga msk d akal.pdhal ki hajar dewantara pahlawan pndidikan??

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau saja Bangsa (baca: bangsamu dan bangsaku), Indonesia tercinta ini sejak punya visi yang jelas mengenai pendidikan dan pengembangan sumber daya rakyatnya, seperti yang diperjuangkan Ki Hajar Dewantara, pasti proses pendidikan dengan pelbagai sistemnya tidak tampak mahal seperti yang anda amati sekarang.

      Saya tidak kenal Ibu Rina dan saya tidak punya sejarah apapun dengan Highscope, kecuali melihatnya dari jalan tol TB Simatupang saja, namun saya menangkap apa yang diperjuangkan oleh Ibu Rina ini.

      Generasi kita terpenjara oleh "Tembok Tebal" sistem pendidikan hafalan, textbook, dan top down. Kreatif? apa itu kreatif? kreatif itu di luar jalur. di luar jalur itu nakal. nakal itu dihukum di luar kelas. dihukum di luar kelas itu anak pembangkang. Orang tua marah, dan sebagainya...dan sebagainya....

      Maka bangsa ini, selama berabad-abad tidak kenal dengan yang namanya kreatifitas. Bahkan hingga sampai detik ini. Belum lagi persoalan-persoalan yang lain.

      Maka bayangkan betapa MAHALnya memang harga yang harus kita bayar untuk menebus dosa-dosa leluhur pemimpin-pemimpin kita yang hilaf membangun tembok besar penghalang kreatifitas manusia Indonesia.

      ini baru soal kreatifitas, lho...

      So,
      di tengah Bangsa yang "RELA MEMBUANG UANG" alias membayar mahal untuk UN, hafalan, seragam, dll.....jika ingin memajukan pendidikan anak kita, harga patokan Ibu Rina adalah Pantas.

      Hapus
  2. memang sangat mulia tujuan beliau, tetapi sangat disayangkan karena hanya kaum elit yang dapat mengenyam pendidikan di high scope ini dengan biayanya yang sangat fantastis.

    BalasHapus
  3. Orang udh lupa atau mungkin tidak peduli(?) sama tujuan sekolah sebagai pencerdas anak untuk bekalnya saat masuk kemasa produktif.
    Ya produktif bukan kerja. Di mana anak benar2 mampu mengembangkan ilmu2 yang didapat bukan hanya sekedar numpang lewat untuk mencari "nilai".
    Apa lagi skarang anak malah harus pergi les mata pelajaran sekolah. Percuma kalau gitu belajar di sekolah lama2 :(
    Di jerman anak yg ikut les itu artinya mmg anak yg memang termasuk (maaf) agak bodoh karena tidak dapat menyerap pelajaran di sekolah (system sekolahnya sangat interaktif beda sama disini)

    BalasHapus
  4. Andai beliau yg jd menteri pendidikan....bahagianyaaa saya

    BalasHapus
  5. Andai beliau yg jd menteri pendidikan....bahagianyaaa saya

    BalasHapus
  6. hanya middle up donk yg bisa masuk

    BalasHapus
  7. Mahalll...pengen sih punya anak kreatif..inovatif dan mandiri..

    BalasHapus
  8. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus