High/Scope Indonesia
adalah sekolah internasional di kawasan Cilandak Barat, Cilandak, Jakarta
Selatan. Pendiri dari High/Scope Indonesia adalah Ibu Antarina Sulaiman.
Ternyata Ibu Antarina ini
masih cucunya maestro pendidikan Indonesia yaitu bapak Ki Hajar Dewantoro.
Ternyata bener ya peribahasa "Buah jatuh tak jauh dari pohon".
Kakeknya pahlawan
pendidikan ehh cucunya mendirikan sekolah.
Ibu Rina (panggilan Ibu
Antarina) tidak begitu saja mendirikan High/Scope Indonesia, awalnya beliau
merasa sistem pendidikan Indonesia kurang pas dalam mencetak anak yang kreatif
padahal kreatifitas sangat diperlukan untuk kesuksesan sang anak.
Ceritanya Ibu Rina ini
adalah seorang dosen di Universitas Indonesia dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi
Keuangan dan Perbankan Indonesia (STEKPI). Saat mengambil gelar Master di
Amerika, seorang profesor memberinya tugas untuk membuat rumus sendiri.
Sesuatu yang jarang
dilakukan dan diasah di sistem pendidikan kita ( kalo di kita boro boro bikin
rumus sendiri, masukin soal ke rumusnya aja sering salah). Beliau baru sadar bahwa
sistem pendidikan kita hanya hafalan.
"Saya merasa bego
banget, ya, kok tidak bisa mengerjakan tugas profesor itu," kenang Rina.
Itulah yang membuat
beliau akhirnya memutuskan untuk mendirikan High/Scope di Indonesia.Konsep
pendidikan High/Scope sudah dikenalnya selama di Amerika. Rina membeli lisensi
High/Scope dari Singapura. Ia mengajak empat temannya untuk mengumpulkan modal
Rp 500 juta.
HANYA DELAPAN MURID YANG
MENDAFTAR
Ternyata tujuan mulia
belum tentu mulus jalannnya. Saat awal mendirikan High/Scope di Pondok Indah
hanya ada 8 murid yang berminat dan itupun masih level pra sekolah.
Tahu nggak Sobat siapa
aja yang mendaftar, enam dari delapan siswanya adalah anak-anak sang pendiri
sekolah tersebut sendiri dan hanya dua yang bener-bener murni orang luar.
Waktu itu Ibu Rina
memberikan nomor urut lima untuk anak diluar enam anak pendiri sekolah
tersebut. "Sya malu" kenangnya karena orang tua murid tersebut
mengira sudah waiting list padahal anak itulah murid pertama High/Scope
Indonesia "Kenangan menyobek kuitansi itu tak akan saya lupakan,"
imbuhnya.
Mungkin nama High/Scope
sudah terkenal di mancanegara sehingga saat enam bulan berjalan High/Scope
mendapat tambahan siswa sebanyak 100 orang. Dan di tahun ajaran baru
selanjutnya Ibu Rina kualahan menangani bludakan peminat High/Scope dan waiting
list betulan. Karena waktu itu tenaga pengajarnya hanya enam orang.
Saat itu High/Scope
Indonesia masih dibawah lisensi Singapura dan beliau ingin langsung dibawah
Amerika. "Saya tidak mau di bawah Singapura, tidak ada untungnya,"
kata Rina. Kebetulan, waktu itu ada pembaruan kontrak antara High/Scope Amerika
dengan pemegang lisensinya di Singapura. Tahun 2000, Rina mendapatkan lisensi
tersebut. "Saya puas sekali, bisa mengalahkan Singapura, "ujarnya.
Setelah itu, Rina mulai menjual waralaba sekolahnya yang kini sudah ada delapan
di seluruh Indonesia.
Awalnya High/Scope hanya
membuka jenjang pendidikan pra sekolah dan TK namun empat tahun kemudia beliau
membuka SD. Kendala muncul lagi, gedung Pondok Indah sudah tak menampung lagi,
banyak wali murid protes. "Enggak mungkin kalau di Pondok Indah
terus," kata Rina.
Maka mulailah Ibu Rina
hunting lokasi. Dan dapatlah tempat, kebetulan saat itu ada teman beliau yang
berniat menyewakan tanah 1,2 ha di selatan Jakarta kawasan TB
Simatupang."Dreams come True" sambut istri dari Farid Amir ini. Ibu
Rina akhirnya menguras tabungan satu-satunya sebesar 20M karena belum kunjung mendapat pinjaman dana.
Tahun 2002, gedung milik
Rina sudah jadi. Pas waktu itu kontrak gedung di Pondok Indah juga habis.
Jadilah Rina memindahkan seluruh siswanya dari prasekolah sampai SD ke gedung
baru tersebut.
Saat ini Rina memiliki
700 orang murid dan 120 tenaga pengajar. Dia juga mulai mempersiapkan gedung
sekolah baru untuk SMA di belakang High/Scope Simatupang yang sekarang. Sebagai
cucu seorang pejuang pendidikan, cita-cita Rina memang mulia, yaitu ingin
memberikan pendidikan berkualitas bagi anak-anak Indonesia. Sayang, tidak
sembarang anak bisa bersekolah di High/Scope ini. Maklum, hanyalah orang tua
dengan kantong tebal saja yang mungkin bisa menyekolahkan anak-anaknya di sini.
Untuk tingkat Toddler, misalnya, orang tua murid harus menyediakan uang sebesar
Rp 12 juta untuk uang pangkal dan biaya per tiga bulan Rp 4,3 juta.
Lantas, bagaimana dengan
anak-anak yang orang tuanya tidak mampu? Menurut Rina, ia memiliki program
sekolah asuh. "Jadi kami mengasuh sekolah-sekolah negeri," ujar Rina
yang masih mengajar di Universitas Indonesia. "Kita mendidik gurunya,
supaya anak-anaknya bisa belajar seperti di sini," sambungnya.
BELAJAR ILMU PUBLIC
RELATION
Kendati sudah lebih dulu
bekerja sebagai dosen, ternyata tidak gampang bagi Antarina Sulaiman untuk
berbisnis sekolah. Ia menganggap meyakinkan orang tua murid tentang metode
pengajaran di High/Scope merupakan hal yang berat. Sebagian besar orang tua
menuntut anaknya untuk menjadi juara. Padahal, Rina ingin mencetak anak yang
kreatif dan produktif. "Harus diberi waktu, dong, anak kan bukan seperti
mesin yang langsung bisa jadi," kata Rina. "Susah sekali memberikan
pemahaman itu," sambungnya.
Gara-gara soal itu pula
Rina pernah didemo orang tua murid. "Mereka minta penjelasan akan dibawa
ke mana arah pendidikan anak-anaknya," kata Rina. Terpaksa Rina menggelar
rapat dadakan dengan orang tua murid. Rina menjelaskan bagaimana pendidikan
yang diselenggarakan di situ sampai tujuan pendidikannya, sampai para orang tua
murid itu benar-benar paham. "Tak disangka, rapat itu berakhir hingga
pukul 01.30 pagi," kenang Rina.
Setelah peristiwa itu,
Rina menyempatkan diri untuk mengikuti kursus PR. "Saya harus tahu cara
menangani hal seperti itu, karena kualitas benar-benar harus dijaga, "kata
perempuan 43 tahun ini.
Begitulah kisah sukses
dari Antarina Sulaiman, jatuh bangun dalam mendirikan sekolah yang berkualitas
High/Scope Indonesia. Semoga kisah ini dapat menginspirasi sobat sekalian.
Tujuan mulia belum tentu jalannya mulus, tetap aja ada tantangannya, justru hal
itulah yang akan menempa kita semua agar bisa menjadi manusia tangguh.
Terima Kasih telah
membaca dan mengunjungi blog saya :D
Mw memajukan pndidikan indonesia knp mahal bgt?? Biaya yg ga msk d akal.pdhal ki hajar dewantara pahlawan pndidikan??
BalasHapusKalau saja Bangsa (baca: bangsamu dan bangsaku), Indonesia tercinta ini sejak punya visi yang jelas mengenai pendidikan dan pengembangan sumber daya rakyatnya, seperti yang diperjuangkan Ki Hajar Dewantara, pasti proses pendidikan dengan pelbagai sistemnya tidak tampak mahal seperti yang anda amati sekarang.
HapusSaya tidak kenal Ibu Rina dan saya tidak punya sejarah apapun dengan Highscope, kecuali melihatnya dari jalan tol TB Simatupang saja, namun saya menangkap apa yang diperjuangkan oleh Ibu Rina ini.
Generasi kita terpenjara oleh "Tembok Tebal" sistem pendidikan hafalan, textbook, dan top down. Kreatif? apa itu kreatif? kreatif itu di luar jalur. di luar jalur itu nakal. nakal itu dihukum di luar kelas. dihukum di luar kelas itu anak pembangkang. Orang tua marah, dan sebagainya...dan sebagainya....
Maka bangsa ini, selama berabad-abad tidak kenal dengan yang namanya kreatifitas. Bahkan hingga sampai detik ini. Belum lagi persoalan-persoalan yang lain.
Maka bayangkan betapa MAHALnya memang harga yang harus kita bayar untuk menebus dosa-dosa leluhur pemimpin-pemimpin kita yang hilaf membangun tembok besar penghalang kreatifitas manusia Indonesia.
ini baru soal kreatifitas, lho...
So,
di tengah Bangsa yang "RELA MEMBUANG UANG" alias membayar mahal untuk UN, hafalan, seragam, dll.....jika ingin memajukan pendidikan anak kita, harga patokan Ibu Rina adalah Pantas.
Nggk msk akal.
BalasHapusLuar biasa perjuangannya. ..
BalasHapusmemang sangat mulia tujuan beliau, tetapi sangat disayangkan karena hanya kaum elit yang dapat mengenyam pendidikan di high scope ini dengan biayanya yang sangat fantastis.
BalasHapusOrang udh lupa atau mungkin tidak peduli(?) sama tujuan sekolah sebagai pencerdas anak untuk bekalnya saat masuk kemasa produktif.
BalasHapusYa produktif bukan kerja. Di mana anak benar2 mampu mengembangkan ilmu2 yang didapat bukan hanya sekedar numpang lewat untuk mencari "nilai".
Apa lagi skarang anak malah harus pergi les mata pelajaran sekolah. Percuma kalau gitu belajar di sekolah lama2 :(
Di jerman anak yg ikut les itu artinya mmg anak yg memang termasuk (maaf) agak bodoh karena tidak dapat menyerap pelajaran di sekolah (system sekolahnya sangat interaktif beda sama disini)
Andai beliau yg jd menteri pendidikan....bahagianyaaa saya
BalasHapusAndai beliau yg jd menteri pendidikan....bahagianyaaa saya
BalasHapushanya middle up donk yg bisa masuk
BalasHapusMahalll...pengen sih punya anak kreatif..inovatif dan mandiri..
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusnice
BalasHapus